Jumat, 01 Mei 2009


Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) adalah organisasi mahasiswa intra kampus yang merupakan lembaga eksekutif di tingkat Universitas atau Institut. Dalam melaksanakan program-programnya, umumnya BEM memiliki beberapa departemen.

Organisasi mahasiswa intra kampus selain BEM, adalah Senat Mahasiswa, Unit Kegiatan Mahasiswa, dan Himpunan Mahasiswa Jurusan. Ada atau tidaknya masing-masing, bergantung pada perkembangan dinamika mahasiswa di setiap kampus.

Daftar isi

[sembunyikan]

BEM beberapa kampus di Indonesia

POLTEKKES DEPKES YOGYAKARTA

ORGANISASI bem ini terdiri dari BEM direktorat dan BEM jurusan. BEM direktorat biasanya mengurusi seluruh kegiatan ke mahasiswaan di seluruh kampus poltekkes karena BEM direktorat merupakan organisasi kemahasiswaan di tingkat Pusat. sedangkan BEM jurusan terdiri dari enam jurusan yaitu BEM Jurusan Analis kesehatan, BEM jurusan Gizi, BEM jurusan keperawatan, BEM jurusan Kebidanan, BEM jurusan Gigi dan BEM jurusan Kesehatan Lingkungan. dalam beberapa kegiatan besar misalnya PPS dan lain - lain BEM selalu bekerja sama antara BEM direktorat dan BEM jurusan. selain itu juga kerja sama

[sunting] Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Organisasi Kemahasiswaan di lingkungan Universitas Gadjah Mada didasarkan Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada No : 32/J01.P/KM/97 tertanggal 12 April 1997 tentang Pedoman Organisasi Kemahasiswaan di Universitas Gadjah Mada.Universitas Gadjah Mada

[sunting] Universitas Indonesia, Jakarta

BEM Universitas Indonesia merupakan organisasi kemahasiswaan di tingkat universitas eksekutif. Karena organisasi ini berada di tingkat universitas, maka para anggotanya berasal dari fakultas yang berbeda-beda, yang biasanya dilakukan perekrutan anggota setelah ketua BEM terpilih.Universitas Indonesia

[sunting] Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

Dalam kehidupan organisasi mahasiswa, Institut Teknologi Sepuluh Nopember memiliki Konstitusi Dasar - Keluarga Mahasiswa ITS (KM-ITS), yakni pedoman tertinggi penyelenggaraan kegiatan kemahasiswaan di ITS yang ditetapkan dalam forum Musyawarah Besar (MUBES) ITS. Badan Eksekutif Mahasiswa ITS (BEM-ITS) merupakan satu supra-struktur trias politika yang menjalankan fungsi eksekutif, dan dipimpin oleh seorang Presiden yang dipilih melalui proses Pemilu Raya ITS. Adapun lembaga mahasiswa tingkat Institut lainnya adalah Legislatif Mahasiswa ITS (LM-ITS) yang menjalankan fungsi legislatif, dan lembaga yudikatif Mahkamah Konstitusi Mahasiswa ITS (MKM-ITS).BEM ITS Surabaya

[sunting] Universitas Kristen Petra, Surabaya

Dalam era reformasi 1997-1998, Senat Mahasiswa Universitas Kristen Petra tidak tinggal diam dalam merumuskan kembali bentuk Lembaga Kemahasiswaannya. Melalui Kongres Luar Biasa Badan Persiapan Usaha-usaha Pembentukan Lembaga Kemahasiswaan (BPUPLK) tahun 2000 ditetapkan sistem kelembagaan yang menerapkan secara proporsional dan realsistis bentuk trias politika (Aspek Yudikatif, Legislatif, dan Eksekutif) serta bentuk partnership dengan struktur di UK Petra. Sitem tersebut dilengkapi dengan Ketentuan Umum dan Ketentuan Realisasi Anggaran serta Struktur-Mekanisme Kerja sebagai alat pelaksana sistem yang baru. Sistem tersebut dikenal dengan nama Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) dimana diharapkan bahwa trias politika tersebut dapat berjalan dengan baik jika dengan semangat kekeluargaan. Antara tiap elemen dalam KBM maupun antara senior-yunior. Perubahan paling terlihat nampak pada terbentuknya Bada Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas yang dipimpin oleh seorang Ketua BEM. Untuk menyeimbangkan fungsi eksekutif tersebut dibentuklah Majelis Perwakilan Mahasiswa (MPM) Universitas. Sementara waktu sambil melihat efektifitas kegiatan eksekutif level jurusan (Himpunan Mahasiswa-Hima), tidak dibentuk BEM Fakultas melainkan hanya ada Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF) dengan garis komando pada Hima. Untuk fungsi Yudikatif dipercayakan pada kumpulan para ketua Hima, BPMF, ketua BEM, dan Utusan UKM dalam bentuk Kongres Mahasiswa. BEM dalam menjalankan perannya berdasarkan pada Garis Besar Haluan (GBH) KBM UKP. Pelantikan KBM UKP pertama kali bersamaan dengan seluruh elemen didalamnya (MPM, BEM, BPMF, Hima) dilakukan pada tanggal 11 Nopember 2000 sekaligus sebagai hari jadi KBM UKP.

[sunting] Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor

Awalnya Lembaga Kemahasiswaan di IPB bernama Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) untuk tingkat pusat, Senat Mahasiswa Fakultas (SM-F) , untuk tingkat Fakultas dan Organisasi Mahasiswa TPB (OM TPB), untuk tingkat TPB. Dengan lembaga legislatifnya bernama BPM di tingkat pusat, BPM Fakultas, di tingkat fakultas dan PM TPB, di tingkat TPB, dengan kewenangan berada dibawah rektorat.

Pada tanggal 5 – 8 Oktober 1998, diadakan KLB (Kongres Luar Biasa) di Cipayung yang dihadiri oleh ± 350 peserta, perwakilan mahasiswa dari tiap jurusan, , BPM dan SMPT. Konggres ini membahas tentang perubahan struktur Lembaga Kemahasiswaan di IPB

[sunting] Universitas Mulawarman

Badan Eksekutif Mahasiswa Univesitas Mulawarman (BEM UNMUL) merupakan salah satu lembaga kemahasiswaan intra kampus tingkat universtas. BEM UNMUL memiliki posisi yang cukup strategis dalam lingkungan pergerakan di Kaltim. Sebelumnya lembaga tertinggi tingkat universitas bernama Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), namun sejak tahun 2003 kemudian berganti nama menjadi BEM UNMUL. BEM UNMUL dipimpin oleh Presiden BEM.

Di Posting Oleh : Dorin Mutoif, Poltekkes Depkes yogyakarta jurusan kesehatan lingkungan

Occupational Health and Safety, University of Indonesia

Munggu, Petanahan, Kebumen

Selasa, 31 Maret 2009

Kepemimpinan karismatik



Kepemimpinan karismatik


kepemimpinan karismatik selama ini selalu identik dengan pengamatan pemimpin di politik dan keagamaan bukan kepemimpinan organisasi dan perusahaan. Karisma berasal dari bahasa yunani diartikan karunia diispirasi ilahi (divenely inspired gift) seperti kemampuan meramal dimasa yang akan datang.

Para ahli sepakat mengartikan karisma sebagai "suatu hasil persepsi para pengikut dan atribut-atribut yang dipengaruhi oleh kemampuan-kemampuan aktual dan prilaku dari para pemimpin dalam konteks situasi kepemimpinan dan dalam kebutuhan-kebutuhn individual maupun kolektif para pengikut " (Yukl, 1994:269)

Beberapa teori karismatik

Ada teori atribusi yang menyatakan bahwa kepemimpinan karismatik didasarkan atas asumsi bahwa karisma adalah sebuah fenomena atribusi (Conger & Kanungo, 1987) dan ada juga teori konsep sendiri yang menyangku karismatik seorang pemimpin dapat dilihat pada sejauh mana apeksi seorang pengikut, keterlibatan emosi dan motivasi yang tinggi didasari pengorbanan jiwa yang luar biasa (Shamir, house, Arthur, 1993) selain konsep teori tinjauan psiko-analisa karisma seorang pemimpin diberlakukan sangat tidak realistis dan tingkat identifikasi ekstrim oleh para pengikut baik melalui pemindahan karisma masa lalu seperti karisma trah Ir. Sukarno yang melegendaris ada pada mantan presiden Megawati yang mengarah pada kultus dengan berbagai konsekuensi negatif. konsekuensi karismatik negatif (Conger, 1990) dapat dilihat dari pola hubungan antara lain :
  • Hubungan antar pribadi yang jelek tidak sesuai dengan pendahulunya
  • Konsekuensi negatif dari prilaku impulsif dan tidak konvensional
  • Konsekuensi negatif dari manajemen kesan bahwa dirnya sangat dibutuhkan pengikut atau karena sekedar mendompleng nama pendahulunya
  • Praktik administrasi lemah, karismatik dalam memimpin tapi sangat lemah dalam penataan aktiftas yang membutuhkan dukungan administratif
  • Konsekuensi negatif dari dari rasa percaya diri yang lemah karena berbeda kapasitas dan kredibilitas dan dirinya memuja dirinya berlebihan (Narcisis).
  • Gagal untuk merencanakan suksesi kepemimpinan karena belum tentu ada yang selevel dengan dirinya sehingga mematikan pengkaderan dlam organisasi.
Referensi :

Kepemimpinan dalam organisasi, Garry Yukl, terj. Jusuf udaya, Prehalindo, Jakarta, 1994.



LEADERSHIF DALAM ORGANISASI PERUSAHAAN

Istilah leadershif berasal dari kata leader artinya pemimpin atau to lead artinya memimpin. Leadershif sudah menjadi kajian tersendiri dalam ilmu manajemen, oleh karena sifatnya yang universal dan menjadikan bahan diklat dalam perusahaan maupun dalam organisasi. Saya katakan setiap orang punya bakat jadi pemimpin dan kepemimpinan adalah ilmunya dan bisa diaplikasikan setelah anda menjadi pemimpin.

Definisi kepemimpinan

Sehubungan dengan kepemimpinan Bennis (1959:259) menyimpulkan : "selalu tanpaknya, konsep tentang kepemimpinan menjauh dari kita atau muncul dalam bentuk lain yang lagi-lagi mengejek kita dengan kelicinan dan kompleksitasnya. dengn demikian kita mendptkan sutu proliferasi dari istlah-istilah yang tak habis-habisnya harus dihadapi... dan konsep tersebut tetap tidak didefinisikan dengan memuaskan".

Garry Yukl (1994:2) menyimpulkan definisi yang mewakili tentang kepemimpinan antara lain sebagai berikut :
  • Kepemimpinan adalah prilaku dari seorang individu yang memimpin aktifitas-aktifitas suatu kelompok kesuatu tujuan yang ingin dicapai bersama (share goal) (Hemhill& Coons, 1957:7)
  • Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, kearah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannenbaum, Weschler & Massarik, 1961:24)
  • kepemimpinan adalah pembentukan awal serta pemeliharaan struktur dalam harapan dan interaksi (Stogdill, 1974:411)
  • kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada dan berada diatas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan rutin organisasi (Katz & Kahn, 1978:528)
  • kepeimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas sebuah kelompok yang diorganisasi kearah pencapaian tujuan (Rauch & Behling, 1984:46)
  • kepemimpinan adalah sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang dinginkan untuk mencapai sasaran (Jacob & Jacques, 1990:281)
  • para pemimpin adalah mereka yang secara konsisten memberi kontribusi yang efektif terhadap orde sosial dan yang diharapkan dan dipersepsikan melakukannya (Hosking, 1988:153)
  • Kepemimpinan sebagai sebuah proses pengaruh sosial yang dalam hal ini pengaruh yang sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktifitas-aktifitas serta hubungan-hubungan didalam sebuah kelompok atau organisasi (Yukl, 1994:2)
Di Posting Oleh : Dorin Mutoif, Poltekkes depkes yogyakarta jurusan kesehatan lingkungan, alumni BEM tahun 2007

pengertian kepemimpinan

LDK BEM Direktorat dan Jurusan Di Babar Sari, poltekkes Depkes Yogyakarta

Stogdill (1974)
menyimpulkan bahwa banyak sekali definisi mengenai kepemimpinan. Hal ini dikarenakan banyak sekali orang yang telah mencoba mendefinisikan konsep kepemimpinan tersebut. Namun demikian, semua definisi kepemimpinan yang ada mempunyai beberapa unsur yang sama.

Sarros dan Butchatsky (1996), "leadership is defined as the purposeful behaviour of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as well as the organization or common good". Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson (1988), "leadership means using power to influence the thoughts and actions of others in such a way that achieve high performance".

Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi. Antara lain:
Pertama: kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.

Kedua: seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat bersumber dari:
  • Reward power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahan pemimpinnya.
  • Coercive power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti arahan-arahan pemimpinnya
  • Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya.
  • Referent power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan) bawahan terhadap sosok pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya karena karakteristik pribadinya, reputasinya atau karismanya.
  • Expert power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin adalah seeorang yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlian dalam bidangnya.
Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.

Ketiga: kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi. Walaupun kepemimpinan (leadership) seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep tersebut berbeda.

Perbedaan antara pemimpin dan manajer dinyatakan secara jelas oleh Bennis and Nanus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat ("managers are people who do things right and leaders are people who do the right thing, "). Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin.

Model-Model Kepemimpinan
Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan (followers). Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin.

Studi-studi kepemimpinan selanjutnya berfokus pada tingkah laku yang diperagakan oleh para pemimpin yang efektif. Untuk memahami faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkah laku para pemimpin yang efektif, para peneliti menggunakan model kontingensi (contingency model). Dengan model kontingensi tersebut para peneliti menguji keterkaitan antara watak pribadi, variabel-variabel situasi dan keefektifan pemimpin.


Studi-studi tentang kepemimpinan pada tahun 1970-an dan 1980-an, sekali lagi memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para pemimpin yang mempengaruhi keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin. Hasil-hasil penelitian pada periode tahun 1970-an dan 1980-an mengarah kepada kesimpulan bahwa pemimpin dan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk dipelajari (crucial), namun kedua hal tersebut disadari sebagai komponen organisasi yang sangat komplek.

Dalam perkembangannya, model yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut sebagai model kepemimpinan transformasional. Model ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.
Berikut ini akan dibahas tentang perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai model-model kepemimpinan yang ada dalam literatur.

(a) Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)
Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi mereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill 1974).

Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Namun demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membedakan antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan tidak didukung dengan hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor yang dominant dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi tingkat signifikasinya sangat rendah (Stogdill 1970).

Bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa
"leadership is a relation that exists between persons in a social situation, and that persons who are leaders in one situation may not necessarily be leaders in other situation" (Stogdill 1970). Apabila kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan. Kegagalan studi-studi tentang kepimpinan pada periode awal ini, yang tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin dan kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari faktor-faktor lain (selain faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut.

(b) Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional Leadership) Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studi tentang kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.

Hencley (1973)
menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu.

(c) Model Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Dimensi struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan organisasi. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan seperti misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations).

Halpin (1966), Blake and Mouton (1985)
menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya.

(d) Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model) Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).

Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).


Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu
dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).

MenurutPath-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.

(e) Model Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational Leadership) Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi.

Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or goingbeyond the self-interest exchange of rewards for compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harusmempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan.

Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar.
Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu.

Dalam buku mereka yang berjudul "
Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership", Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four I's". Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi. Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996). Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978).

Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, namun fenomenafenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership). Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya. Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigma untuk mengembangkan Praktekorganisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasaldari kata Yunani meta yang berarti perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran. Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition). Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan dengan kondisi persaingan baru.

Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.

Referensi:
Bass, B.M. and Avolio, B.J., 1994, Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership, Sage, Thousand Oaks. Bass, B.M., 1960, Leadership, Psychology and Organizational Behavior, Harper and Brothers, New York. Bennis, W.G. and Nanus, B., 1985, Leaders: The Strategies for Taking Charge, Harper and Row, New York. Bryman, A., 1992, Charisma and Leadership in Organizations, Sage, London. Burns, J.M., 1978, Leadership, Harper and Row, New York. Fiedler, F.E., 1967, A Theory of Leadership Effectiveness, McGraw-Hill, New York.

Di Posting Oleh : Dorin Mutoif, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Poltekkes Depkes yogyakarta
Alumni BEM 2006 dan 2007

Selasa, 17 Maret 2009

Essensi dasar seorang pemimpin


PPS Tahun ajaran 2009

“Betapa pun besar kekuasaannya, penguasa pemerintah yang mengabaikan kebenaran niscaya akan tergulingkan”. KHUDDAKA NIKAYA, JATAKA II : 51
Ada yang mengatakan bahwa kepemimpinan itu, biasanya diraih melalui proses pembelajaran atau telah puas merasakan asam garamnya kehidupan (pengalaman). Dan ada juga yang mengatakan bahwa kepemimpinan adalah bakat dari sejak lahir, yang bisa saja merupakan warisan dari kedua orang tua atau muncul secara alami, yang mana kedua orang tua tidak memiliki potensi yang demikian. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa kepemimpinan itu (timbul), dikarenakan oleh adanya bakat dari sejak lahir dan ditambah lagi dengan belajar serta pengalaman hidup. Jika di analisa dari ketiga jenis pendapat ini maka akan bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa kepemimpinan yang didasarkan oleh bakat dari sejak lahir dan didukung oleh pengetahuan yang memadai serta pengalaman yang cukup, pasti akan menghasilkan seorang pemimpin yang sangat handal, piawai, efektif, efisien dan produktif.


SIR PETER PARKER : “Keberhasilan seorang manajer dalam mengkombinasikan semua dari ketiga dimensi (ekonomi, kewirausahaan dan sosial) tergantung pada kemampuannya dalam memimpin. Manusia lebih senang dipimpin dibandingkan diatur. Saya pikir memang demikian adanya karena proses kepemimpinan yang baik membuat seorang pemimpin mengerti betapa dia sangat tergantung pada orang orang lain. Pemimpin harus mendengarkan mereka dan itu artinya dia bisa ditemui”.

Selanjutnya, agar fungsi kepemimpinan “bisa” terfokuskan dan terlaksana dengan baik serta benar maka seorang pemimpin haruslah didukung oleh :
I.- SELF DISCIPLINE. Realitanya, pemimpin yang tidak memiliki kedisiplinan diri, programnya akan berantakan dan apapun yang dilaksanakan, hasilnya tidaklah akan optimal atau sesuai dengan yang dikehendaki. Kedisiplinan diri, haruslah dimiliki oleh seorang pemimpin. Jika tidak maka fungsinya akan kacau dan sasarannya akan ngawur. Contoh contoh dari kedisiplinan diri ini adalah :
1a.- On Time masuk dan pulang kantor.
1b.- On Time menepati janji.
1c.- On Time menyiapkan apapun yang telah direncanakan.
1d.- On Time dikala bekerja dan istirahat.
1e.-. Konsisten dan konsekwen dengan peraturan yang telah disepakati “Works while you work, play while you play, that is the way to be happy and gay”.

II.- PURPOSE. Apapun bisnis yang dikerjakan, tujuan utamanya tiada lain adalah profit. Profit akan diraih jika tujuannya, jelas dan logis direalisasikan. Misalnya : Bertujuan mendistribusikan boneka di area A. Agar tujuan “bisa” tercapai,
1.- Di Area tersebut, haruslah ada anak anak.
2.- Taraf kehidupannya cukup memadai atau daya belinya dimungkinkan.
3.- Produk tersebut adalah legal, baik dari segi hukum maupun adat istiadat setempat. Bagaimanapun bagus, ekonomis dan kompetitifnya suatu produk jika tujuannya tidak jelas dan irrasional direalisasikan, hasilnya pasti buntung atau “no profit”.

III.- ACCOMPLISHMENT. Setelah disiplin diri dimiliki dan tujuannya jelas serta logis direalisasikan maka haruslah sesegera mungkin dilaksanakan agar memberikan hasil yang opotimal. Kenyataannya, bagaimanapun indah atau “perfect” nya suatu teori jika tanpa adanya pelaksanaan maka hasilnya adalah nol ! Demikian juga dalam bisnis, kalau sudah nyata strategi dan taktiknya cemerlang maka laksanakanlah sesegera mungkin agar sasarannya “bisa” dicapai. “Who never tried can never win a pride”.

IV.- RESPONSIBILITY. Pemimpin yang selalu menghindar atau lari dari tanggung jawab, secara tidak langsung telah menumpulkan otoritasnya, yang dampak nyatanya adalah memunculkan ketidakpercayaan, ketidakhormatan, ketidakseganan dan ketidakkaguman. Dan yang pasti, pemimpin yang otoritasnya mandul akan selalu gagal menjalankan fungsinya karena semua instruksinya akan selalu diabaikan atau dicuekin. Oleh karena itu, salah satu konsekwensi seorang pemimpin adalah harus berani dan mau bertanggung jawab atas apapun yang terjadi, sejauh berada dibawah hirarkinya. “Don’t break the mirrow if you see your face bad”.

V.- KNOWLEDGE. Menjadi seorang Pemimpin, bukanlah selalu berarti lebih piawai atau jenius dibandingkan orang lain. Adakalanya, di bidang “marketing concept” lebih unggul tetapi di bidang “marketing strategy”, bisa saja lemah. Didasarkan oleh kenyataan ini, hendaknya proses pembelajaran itu, dilaksanakan secara berkesinambungan. “Knowledge is a treasure but practice is the key to do it”.

VI.- LADDERSHIP. Pemimpin yang membawahi beberapa departemen atau devisi, jenjang komandonya bisa saja langsung atau tidak langsung. Berkenaan dengan ini maka koordinasi dan komunikasi tugas, wewenang dan tanggung jawab, haruslah jelas agar hasil yang diharapkan senantiasa sesuai dengan standard.

VII.- EXAMPLE. Biasanya, apa yang diperbuat oleh seorang Pemimpin, itulah yang akan dicontoh. Berkenaan dengan hal
ini maka sebagai konsekwensinya, seorang Pemimpin haruslah selalu memberikan contoh yang baik, misalnya : ber-iman, jujur, tekun, setia, positive thinking, ulet, disiplin, ber-inisiatif, percaya diri, berpandangan luas/tidak rasialis dan lain sebagainya. “Action speaks louder than words”.

Di Posting Oleh : Dorin Mutoif, Poltekkes depkes yogyakarta jurusan kesehatan lingkungan, alumni BEM tahun 2007

PERBEDAAN SEORANG PEMIMPIN DAN SEORANG MANAJER

PPS PERIODE 2007


Selama ini orang beranggapan bahwa seorang manajer sama dengan seorang pemimpin. Karena pada kenyataannya seringkali istilah manajer digunakan untuk menyebut seorang pemimpin. Nah tulisan ini hendak mengembalikan batasan/pengertian manajer dengan pemimpin. Mengenai perbedaan dan persamaan mereka. Memang sementara ini tulisan ini akan terkesan tidak memiliki manfaat yang besar karena selama ini tidak ada masalah ketika kita menyebut pimpinan kita dengan istilah manajer. Namun tulisan ini hanyalah sebuah pendahuluan bagi tulisan-tulisan lanjutan yang berusaha membangun paradigma baru tentang kepemimpinan. Sesuatu yang menurut saya menjadi salah satu sebab utama atas keterpurukan Indonesia selama ini. Sekumpulan tulisan yang mencoba memberikan sumbangan pemikiran tentang sosok pemimpin yang bagaimana yang seharusnya dimiliki oleh bangsa yang besar ini. Dan untuk bangsa Indonesia kita menggunakan istilah "pemimpin bangsa" dan tidak pernah menggunakan istilah "manajer bangsa", hal ini menunjukkan bahwa walaupun kita sering rancu dalam menyebut pemimpin dan manajer, tapi dalam beberapa hal kita konsisten untuk menyebut secara terpisah kedua istilah tersebut, seperti ketika kita menyebut "pemimpin perjuangan" bukan "manajer perjuangan", "pemimpin revolusi" bukan "manajer revolusi", "pemimpin sidang" bukan "manajer sidang", dsb.

Bila berhubungan dengan orang, maka kedudukan pemimpin dan manajer adalah sama, bahwa mereka adalah atasan dan yang menjadi obyek kedudukan mereka adalah bawahan. Tapi berhubungan dengan obyek ini juga ada perbedaan, bahwa pemimpin selalu dan hanya berhubungan dengan orang-orang/para bawahan, sedangkan manajer tidak. Manajer yang melakukan fungsi manajemen tidak selalu berhubungan dengan orang, tetapi juga bisa dengan berbagai hal lain yang tidak berbentuk orang, seperti waktu kemudian dikenal manajemen waktu, berhubungan dengan belajar maka disebut dengan manajemen belajar, berhubungan dengan tujuan maka disebut dengan manajemen tujuan, dsb. Maka dari sini kita bisa menyimpulkan istilah manajer diberikan dikarenakan ia melakukan fungsi manajemen bukana karena semata-mata posisi dia sebagai atasan, karena itu juga ada tingkatan manajer, seperti manajer tingkat atas (top manajer), manajer tingkat menengah (midle manajer) dan manajer tingkat rendah (low manajer). Sedangkan seseorang disebut sebagai pemimpin/pimpinan semata-mata karena posisi dia sebagai atasan. Karena itu dalam kepemimpinan tidak dikenal dualisme kepemimpinan karena hanya akan memecah belah dan menghancurkan. Pemimpin haruslah satu.
Dengan demikian kita tahu, bahwa sesungguhnya antara pemimpin dan manajer memiliki fungsi yang berbeda. Seorang pemimpin memiliki fungsi dasar adalah mengarahkan dan menggerakkan seluruh bawahan untuk bergerak pada arah yang sama yaitu tujuan. Sedangkan fungsi seorang manajer adalah managemen. Yaitu kegiatan-kegiatan seputar perencanaan (planning), pengorganisasian (organising), penempatan staff (staffing), pengarahan (directing) dan kontrol (controlling). Seorang pemimpin sangat mungkin menggunakan fungsi manajemen untuk mencapai tujuan, tetapi itu bukan satu-satunya cara untuk mencapai tujuan. Terutama untuk organisasi sosial/nirlaba, ternyata memiliki kemampuan manajemen yang baik tidak selalu dapat mencapai kesuksesan. Pemimpinan yang sukses adalah manajer+. Sebagaimana yang akan saya tulis dalam "Kepemimpinan dalam Organisasi Sosial".
Dalam menjalankan fungsinya, seorang manajer lebih sering memanfaatkan wewenang dan kekuasaan jabatan secara struktural yang memiliki kekuatan mengikat dengan dapat melakukan paksaan/hukuman untuk mengarahkan bawahan. Sedangkan seorang pemimpin lebih menekankan pengaruh/karisma yang dimilikinya sehingga bawahan secara sadar untuk mengikuti arahan sang pemimpin. Ia menstimulasi, memfasiltasi, dan berpastisipasi dalam setiap kegiatan yang menginginkan bawahan mengikutinya. Tidak dengan hadiah, paksaan atau hukuman. Seorang manajer dipilih melalui jalur formal, seperti dipilih oleh komisaris atau direktur, sedangkan pemimpin biasanya berdasar pilihan dan kontrak sosial dengan anggota atau bawahan.
Kesimpulannya, manajemen hanyalah salah satu fungsi yang dilakukan seorang pemimpin.

Di posting oleh : Dorin Mutoif, Alumni bem periode 2007, poltekkes depkes yogyakarta Jurusan kesehatan lingkungan

lATIHAN DASAR KEPEMIMPINAN

LDK BEM DIREKTORAT DAN JURUSAN PERIODE KEPENGURUSAN 2009


Latihan Dasar Kepemimpinan / LDK adalah sebuah pelatihan dasar tentang segala hal yang berkaitan dengan kepemimpinan. Pelatihan ini biasanya yang diberikan oleh Pengurus OSIS lama kepada calon Pengurus OSIS baru, baik untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama maupun Sekolah Menengah Atas (untuk LDK tingkat sekolah menengah). Pelatihan dasar yang diberikan ini bertujuan untuk memberikan bekal kepemimpinan kepada Pengurus OSIS baru yang nantinya akan menjadi pemimpin dari seluruh kesatuan OSIS dari sekolah yang bersangkutan.

LDK biasanya diberikan dalam 2 bagian yaitu LDK Fisik dan LDK Mental. Pemberian materi dari kedua jenis LDK ini biasanya diberikan di waktu dan tempat yang berbeda. Untuk LDK Mental, yang menjadi pemberi materi bukanlah lagi para Pengurus OSIS lama melainkan Dewan Guru, Pembina OSIS, Kepala Sekolah serta Guru Psikologi dan Konseling dari sekolah yang bersangkutan, atau bisa juga dengan cara menyewa dari suatu Lembaga Psikologi Independen. LDK Fisik biasanya diberikan di sekolah dalam waktu 3-5 Hari penuh, sedangkan LDK Mental biasanya diberikan di luar kota dalam waktu 2-4 hari.


Untuk LDK Fisik pada umumnya, materi yang diberikan secara garis besar ialah dalam bentuk PBB / Pelatihan Baris Berbaris. PBB ini meliputi beberapa hal seperti :

  • Baris Berbaris dasar :
        * Hadap Kanan,
* Hadap Kiri,
* Balik Kanan,
* Hadap Serong Kanan,
* Hadap Serong Kiri,
* Jalan Ditempat,
* Langkah Tegap Maju, dan
* Meluruskan Barisan.
  • Baris Berbaris Tingkat Menengah :
        * Perpaduan antara Langkah Tegap Maju dengan Balik Kanan serta keempat jenis hadap-hadapan,
* Perpaduan antara Jalan Ditempat dengan Balik Kanan serta keempat jenis hadap-hadapan, dan
* Buka - Tutup Barisan.
  • Baris Berbaris Tingkat Tinggi :
        * Langkah Tegap Maju beregu,
* Haluan Kanan beregu,
* Haluan Kiri beregu,
* Belok Kanan beregu, dan
* Perpaduan antara Langkah Tegap Maju, Balik Kanan, keempat jenis hadap-hadapan, dan Jalan Ditempat.
  • Ujian Akhir : Perpaduan Keseluruhan Materi PBB.


Dalam LDK Fisik ini peserta dituntut untuk memiliki kedisiplinan yang tinggi, terlebih selama mengikuti 3-5 hari LDK. Beberapa peraturan yang pada umumnya diterapkan dalam LDK ialah :

  • Selama pelaksanaan LDK, peserta harus hadir di tempat LDK tepat waktu,
  • Kebersamaan ialah hal yang amat diperhatikan selama pelaksanaan LDK. Jika ada 1 peserta saja yang tidak membawa air minum, saputangan, topi, ataupun atribut-atribut lainnya yang telah ditetapkan, maka seluruh pesertalah yang akan menanggung hukumannya,
  • Setiap peserta wajib mematuhi seluruh peraturan dan perintah yang diberikan oleh tim pemberi LDK. Jika tidak, maka kepadanya akan diberikan hukuman, dan
  • Kebersamaan juga diterapkan apabila ada salah satu peserta LDK yang melakukan kesalahan

Hukuman dalam LDK Fisik biasanya berupa push-up untuk pria atau scott jump untuk wanita. Jumlahnya tergantung perintah dari pemberi LDK.

[sunting] LDK Mental

Untuk LDK Mental pada umumnya, materi yang diberikan secara garis besar ialah dalam bentuk Penyuluhan Mental Kepemimpinan. Kegiatan yang biasa dilakukan dalam LDK Mental adalah :

Outbond / Kegiatan Alam, seperti :

Permainan-permainan yang memiliki nilai kepemimpinan, seperti :

  • Memasukkan paku dalam botol dengan mata tertutup. Salah seorang yang lain memberikan aba-aba agar paku tersebut masuk. Dibutuhkan kemampuan untuk menganalisa segala macam kemungkinan dan kemampuan untuk memerintah secara hati-hati dan terpertimbangkan agar bisa mencapai goal dari permainan ini yaitu memasukkan paku dalam botol
  • Bisik berantai. Dibutuhkan kemampuan sebagai pendengar sekaligus penyampai pesan yang baik agar dapat menyampaikan pesan yang benar dari awal hingga akhir.

Pemberian materi kepemimpinan yang dibagi dalam beberapa sessi, seperti :

Di posting oleh : Dorin Mutoif, Alumni BEM periode 2007 Jurusan kesehatan lingkungan, poltekkes depkes yogyakarta

Sabtu, 31 Januari 2009

MEMENAJEMENI KONFLIK DALAM SUATU ORGANISASI

PPS Mahasiswa Baru ( MABA ) Tahun Angkatan 2009


MEMENAJEMENI KONFLIK DALAM SUATU ORGANISASI

Kemajuan-kemajuan di bidang teknologi dan sosial budaya mendorong
perkembangan berbagai aspek kehidupan manusia diantaranya dalam berkumpuldan
hidup berkelompok. Sebagai suatu bentuk kumpulan manusia dengan
katanikatantertentu atau syarat-syarat tertentu, maka organisasi telah pula
berkembangdalam berbagai aspek termasuk ukuran dan kompleksitas.

Semakin besar ukuran suatu organisasi semakin cenderung menjadi kompleks
keadaannya. Kompleksitas ini menyangkut berbagai hal seperti kompleksitas
alur informasi, kompleksitas komunikasi, kompleksitas pembuat keputusan,
kompleksitas pendelegasian wewenang dan sebagainya.

Kompleksitas lain adalah sehubungan dengan sumber daya manusia. Seperti kita
ketahui bahwa sehubungan dengan sumber daya manusia ini dapat diidentifikasi
pula berbagai kompleksitas seperti kompleksitas jabatan, kompleksitas tugas,
kompleksitas kedudukan dan status, kompleksitas hak dan wewenang dan
lain-lain. Kompleksitas ini dapat merupakan sumber potensial untuk timbulnya
konflik dalam organisasi, terutama konflik yang berasal dari sumber daya
manusia, dimana dengan berbagai latar belakang yang berbeda tentu mempunyai
tujuan yang berbeda pula dalam tujuan dan motivasi mereka dalam bekerja.

Seorang pimpinan yang ingin memajukan organisasinya, harus memahami
faktorfaktor apa saja yang menyebabkan timbulnya konflik, baik konflik di
dalam individu maupun konflik antar perorangan dan konflik di dalam kelompok
dan konflik antar kelompok. Pemahaman faktor-faktor tersebut akan lebih
memudahkan tugasnya dalam hal menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi dan
menyalurkannya ke arah perkembangan yang positif.

Pengertian
Robbins (1996) dalam "Organization Behavior" menjelaskan bahwa konflik
adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian
antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang
terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.

Sedang menurut Luthans (1981) konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh
adanya kekuatan yang saling bertentengan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber
pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa
istilah yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.

Perbedaan pendapat tidak selalu berarti perbedaan keinginan. Oleh karena
konflik bersumber pada keinginan, maka perbedaan pendapat tidak selalu
berarti konflik. Persaingan sangat erat hubungannya denga konflik karena
dalam persaingan beberapa pihak menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu
yang mungkin mendapatkannya. Persaingan tidak sama dengan konflik namun
mudah menjurus keaarah konflik, terutuma bila ada persaingan yang
menggunakan cara-cara yang bertentengan dengan aturan yang disepakati.
Permusuhan bukanlah konflik karena orang yang terlibat konflik bisa saja
tidak memiliki rasa permusuhan. Sebaliknya orang yang saling bermusuhan bisa
saja tidak berada dalam keadaan konflik. Konflik sendiri tidak selalu harus
dihindari karena tidak selalu negatif akibatnya. Berbagai konflik yang
ringan dan dapat dikendalikan (dikenal dan ditanggulangi) dapat berakibat
positif bagi mereka yang terlibat maupun bagi organisasi.

Jenis-jenis Konflik
Menurut James A.F. Stoner dan Charles Wankel dikenal ada lima jenis konflik
yaitu konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik antar individu
dan kelompok, konflik antar kelompok dan konflik antar organisasi.

Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflikseseorang dengan dirinya sendiri.
Konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan
yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam diri seseorang itu biasanya terdapat
hal-hal sebagai berikut:
1. Sejumlah kebutuhan-kebutuhan dan peranan-peranan yang bersaing
2. Beraneka macam cara yang berbeda yang mendorong peranan-peranan dan
kebutuhan-kebutuhan itu terlahirkan.
3. Banyaknya bentuk halangan-halangan yang bisa terjadi di antara dorongan
dan
tujuan.
4. Terdapatnya baik aspek yang positif maupun negatif yang menghalangi
tujuantujuan
yang diinginkan.
Hal-hal di atas dalam proses adaptasi seseorang terhadap lingkungannya
acapkali
menimbulkan konflik. Kalau konflik dibiarkan maka akan menimbulkan keadaan
yang
tidak menyenangkan.

Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal yaitu :
1. Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua
pilihan yang sama-sama menarik.
2. Konflik pendekatan – penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada
dua
pilihan yang sama menyulitkan.
3. Konflik penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada
satu hal yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.

Konflik Interpersonal
Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang lain
karenapertentengan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara
dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain. Konflik
interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat penting dalam perilaku
organisasi. Karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan dari
beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan mempngaruhi proses
pencapaian tujuan organisasi tersebut. Konflik antar individu-individu dan
kelompok-kelompok Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu
menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas, yang ditekankan
kepada mereka oleh kelompok kerja mereka.

Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa seseorang individu dapat dihukum oleh
kelompok kerjanya karena ia tidak dapat mencapai norma-norma produktivitas
kelompok dimana ia berada.

Konflik antara kelompok dalam organisasi yang sama Konflik ini merupakan
tipe konflik yang banyak terjadi di dalam organisasiorganisasi. Konflik
antar lini dan staf, pekerja dan pekerja – manajemen merupakan dua macam
bidang konflik antar kelompok.

Konflik antara organisasi
Contoh seperti di bidang ekonomi dimana Amerika Serikat dan negara-negara
lain dianggap sebagai bentuk konflik, dan konflik ini biasanya disebut
dengan persaingan.Konflik ini berdasarkan pengalaman ternyata telah
menyebabkan timbulnya pengembangan produk-produk baru, teknologi baru dan
servis baru, harga lebih rendah dan pemanfaatan sumber daya secara lebih
efisien.

Peranan Konflik
Ada berbagai pandangan mengenai konflik dalam organisasi. Pandangan
tradisional mengatakan bahwa konflik hanyalah merupakan gejala abnormal yang
mempunyai akibat-akibat negatif sehingga perlu dilenyapkan. Pendapat
tradisional ini dapat diuraikan sebagai berikut :
- Konflik hanya merugikan organisasi, karena itu harus dihindarkan dan
ditiadakan.
- Konflik ditimbulka karena perbedaan kepribadian dan karena kegagalan dalam
kepemimpinan.
- Konflik diselesaikan melalui pemisahan fisik atau dengan intervensi
manajemen
tingkat yang lebih tinggi.
Sedangkan pandangan yang lebih maju menganggap bahwa konflik dapat berakibat
baik maupun buruk. Usaha penanganannya harus berupaya untuk menarik hal-hal
yang baik dan mengurangi hal-hal yang buruk. Pandangan ini dapat diuraikan
sebagai berikut :
- Konflik adalah suatu akibat yang tidak dapat dihindarkan dari interaksi
organisasional dan dapat diatasi dengan mengenali sumber-sumber konflik.
- Konflik pada umumnya adalah hasil dari kemajemukan sistem organisasi
- Konflik diselesaikan dengan cara pengenalan sebab dan pemecahan masalah.
Konflik dapat merupakan kekuatan untuk pengubahan positif di dalam suatu
organisasi.
Dalam padangan modern ini konflik sebenarnya dapat memberikan manfaat yang
banyak bagi organisasi. Sebagai contoh pengembangan konflik yang positif
dapat
digunakan sebagai ajang adu pendapat, sehingga organisasi bisa memperoleh
pendapat-pendapat yang sudah tersaring.
Seorang pimpinan suatu organisasi pernah menerapkan apa yang disebutnya
dengan "mitra tinju" Pada saat ada suatu kebijakan yang hendak diterapkannya
di organisasi yang dipimpinnya ia mencoba untuk mencari "mitra yang
beroposisi dengannya". Kadang konflik pun terjadi. Apakah itu menjadi
persoalan bagi dirinya ?
"Bagi saya hal itu menjadi hal yang positif, karena saya dapat melihat
kebijakan yang dibuat tersebut dari sisi lain. Saya dapat mengidentifikasi
kemungkinan kelemahan yang ada dari situ. Selama kita masih bisa mentolerir
dan dapat mengendalikan konflik tersebut ke arah yang baik, hal
itu tidak menjadi masalah", ujarnya.

Hal ini sejalan dengan pendapat yang ditulis oleh Robbins (1996) yang
membahas konflik dari segi human relations and interactionist perspective.
Dijelaskan bahwa konflik itu adalah hal yang alamiah dan selalu akan
terjadi. Konflik merupakan bagian dari pengalaman hubungan antar pribadi
(interpersonal experience) Karena itu bisa dihindari maka sebaiknya konflik
dikelola dengan efektif, sehingga dapat bermanfaat dan dapat menciptakan
perbedaan serta pembaharuan ke arah
yang lebih baik dalam organisasi. Kesimpulannya konflik tidak selalu
merugikan organisasi selama bisa ditangani

dengan baik sehingga dapat :
- mengarah ke inovasi dan perubahan
- memberi tenaga kepada orang bertindak
- menyumbangkan perlindungan untuk hal-hal dalam organisasi
- merupakan unsur penting dalam analisis sistem organisasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi Konflik
Dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu faktor intern dan
faktor
ekstern. Dalam faktor intern dapat disebutkan beberapa hal :

1. Kemantapan organisasi
Organisasi yang telah mantap lebih mampu menyesuaikan diri sehingga tidak
mudah terlibat konflik dan mampu menyelesaikannya. Analoginya dalah
seseorang yang matang mempunyai pandangan hidup luas, mengenal dan
menghargai perbedaan nilai dan lain-lain.

2. Sistem nilai
Sistem nilai suatu organisasi ialah sekumpulan batasan yang meliputi
landasan maksud dan cara berinteraksi suatu organisasi, apakah sesuatu itu
baik, buruk, salah atau benar.

3. Tujuan
Tujuan suatu organisasi dapat menjadi dasar tingkah laku organisasi itu
serta para anggotanya.

4. Sistem lain dalam organisasi
Seperti sistem komunikasi, sistem kepemimpinan, sistem pengambilan
keputusan, sisitem imbalan dan lain-lain. Dlam hal sistem komunikasi
misalnya ternyata persepsi dan penyampaian pesan bukanlah soal yang mudah.

Sedangkan faktor ekstern meliputi :
1. Keterbatasan sumber daya
Kelangkaan suatu hal yang dapat menumbuhkan persaingan dan seterusnya dapat
berakhir menjadi konflik.

2. Kekaburan aturan/norma di masyarakat Hal ini memperbesar peluang
perbedaan persepsi dan pola bertindak.

3. Derajat ketergantungan dengan pihak lain Semakin tergantung satu pihak
dengan pihak lain semakin mudah konflik terjadi.

4. Pola interaksi dengan pihak lain Pola yang bebas memudahkan pemamparan
dengan nilai-nilai ain sedangkan pola

tertutup menimbulkan sikap kabur dan kesulitan penyesuaian diri.Penanganan
Konflik Untuk menangani konflik dengan efektif, kita harus mengetahui
kemampuan diri sendiri dan juga pihak-pihak yang mempunyai konflik. Ada
beberapa cara untuk
menangani konflik antara lain :

1. Introspeksi diri
Bagaiman kita biasanya menghadapi konflik ? Gaya pa yang biasanya digunakan?
Apa saja yang menjadi dasar dan persepsi kita. Hal ini penting untuk
dilakukan sehingga kita dapat mengukur kekuatan kita.

2. Mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat. Sangat penting bagi kita untuk
mengetahui pihak-pihak yang terlibat. Kita dapat mengidentifikasi
kepentingan apa saja yang mereka miliki, bagaimana nilai dan sikap mereka
atas konflik tersebut dan apa perasaan mereka atas terjadinya konflik.
Kesempatan kita untuk sukses dalam menangani konflik semakin besar jika kita
meliha konflik yang terjadi dari semua sudut pandang.

3. Identifikasi sumber konflik
Seperti dituliskan di atas, konflik tidak muncul begitu saja. Sumber konflik
sebaiknya dapat teridentifikasi sehingga sasaran penanganannya lebih terarah
kepada sebab konflik.

4. Mengetahui pilihan penyelesaian atau penanganan konflik yang ada dan
memilih
yang tepat.
Spiegel (1994) menjelaskan ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam
penanganan konflik :

a. Berkompetisi
Tindakan ini dilakukan jika kita mencoba memaksakan kepentingan sendiri di
atas kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan ini bisa sukses dilakukan jika
situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat, kepentingan salah satu
pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital. Hanya perlu diperhatikan
situasi menang – kalah (win-win solution) akan terjadi disini. Pihak
yangkalah akan merasa dirugikan dan dapat menjadi konflik yang
berkepanjangan. Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan atasan –bawahan,
dimana atasan menempatkan kepentingannya (kepentingan organisasi) di atas
kepentingan bawahan.

b. Menghindari konflik
Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindari dari situsasi
tersebut secara fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah
menunda konflik yang terjadi. Situasi menag kalah terjadi lagi disini.
Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mencoba untuk
mendinginkan suasana, mebekukan konflik untuk sementara. Dampak kurang baik
bisa terjadi jika pada saat yang kurang tepat konflik meletus kembali,
ditambah lagi jika salah satu pihak menjadi stres karena merasa masih
memiliki hutang menyelesaikan persoalan tersebut.

c. Akomodasi
Yaitu jika kita mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar
pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Disebut juga
sebagai self sacrifying behaviour. Hal ini dilakukan jika kita merasa bahwa
kepentingan pihak lain lebih utama atau kita ingin tetap menjaga hubungan
baik dengan pihak tersebut. Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan
hubungan baik menjadi hal yang utama di sini.

d. Kompromi
indakan ini dapat dilakukan jika ke dua belah pihak merasa bahwa kedua hal
tersebut sama –sama penting dan hubungan baik menjadi yang uatama.
Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya untuk
mendapatkan situasi menang-menang (win-win solution)

e. Berkolaborasi
Menciptakan situasi menang-menag dengan saling bekerja sama. Pilihan
tindakan ada pada diri kita sendiri dengan konsekuensi dari masing-masing
tindakan. Jika terjadi konflik pada lingkungan kerja, kepentingan dan
hubungan antar pribadi menjadai hal yang harus kita pertimbangkan.

Kemampuan menangani konflik tentang terutama yang menduduki jabatan
pimpinan. Yang terpenting adalah mengembangkan pengetahuan yang cukup dan
sikap yang positif terhadap konflik, karena peran konflik yang tidak selalu
negatif terhadap organisasi.

Dengan pengembalian yang cukup senang, pimpinan dapat cepat mengenal,
mengidentifikasi dan mengukur besarnya konflik serta akibatnya dengan sikap
positif dan kemampuan kepemimpianannya, seorang pimpinan akan dapat
mengendalikan konflik yang akan selalu ada, dan bila mungkin menggunakannya
untuk keterbukaan organisasi dan anggota organisasi yang dipimpinnya. Tentu
manfaatnya pun dapat dirasakan oleh dirinya sendiri.

Disusun Oleh : Dorin Mutoif, Alumni BEM Periode 2007 Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes depkes yogyakarta